Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad-dader straftecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.
Anak adalah bagian warga Negara yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi bangsa yang dimasa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa dan negara. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.
Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi. Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).
Mahkamah Agung merespon Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan sangat progresif. Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Hatta Ali menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan sebelum Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU SPPA dikeluarkan. Poin penting PERMA tersebut bahwa Hakim wajib menyelesaikan persoalan ABH dengan acara Diversi yang merupakan prosedur hukum yang masih sangat anyar dalam sistem dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Disamping itu juga, PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan Hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.
Diversi dan Restoratif Justice
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus ABH. Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)sebagai institusi atau lembaga yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan, menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam koridor keadilan restoratif. Hal itu selaras dengan :
- Deklarasi PBB tahun 2000 tentang Prinsip-prinsip pokok tentang Penggunaan Program-Program Keadilan Restoratif dalam permasalahan-permasalahan Pidana (United Nations Declaration on The Basic Principles on the Use of Restoratif Justice Programmes in Criminal Matters)
- Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice : “Meeting the challanges of the Twenty-First Century”) butir 27-28 tentang Keadilan Restoratif
- Kongres PBB ke-XI di Bangkok tahun 2005 tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice)pada butir 32 :”Persekutuan Strategis dalam Pencegahan tindak pidana dan peradilan pidana (Synergies and Responses : Strategic Alliances in Crime Prevention and Criminal Justice)”
Selanjutnya diatur dalam UU 11 tahun 2012 dan PERMA 4 tahun 2014
Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk:
- Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
- Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
- Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
- Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
- Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Menurut PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif.
Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah undang-undang semata tetapi juga memodfikasi sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh hukumpun tercapai. Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “musyawarah untuk mufakat”. Sehingga diversi khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.
Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :
- Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
- Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
- Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.
Kesimpulan
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak hak setiap anak mempunyai wajib dijunjung tinggi tanpa anak tersebut meminta.
Kasus kasus ABH yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itu juga harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir (Ultimum Remedium) dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak. Diluar itu kasus kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan diversi sebagaimana proses mediasi yang difasilitasi oleh penegak hukum pada setiap tingkat untuk mencapai keadilan restoratif yang dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu seperti berupa tindakan lainnya yang dilakukan dengan pemulihan bagi anak serta korban, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan nonformal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.
Sesungguhnya, diversi dapat juga digambarkan sebagai suatu sistem dimana fasilitator mengatur proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan sebagai keadilan restoratif. Tradisi dan mekanisme musyawarah mufakat merupakan wujud nyata dalam memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat sejak dulu. Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggungjawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perspektif keadilan restoratif.
Tanggal 23 Juli adalah Hari Anak Nasional dan 20 November adalah Hari Anak Sedunia. Saat ini seluruh Pengadilan hingga tingkat daerah terus menyiapkan sarana dan prasarana untuk merespon dan mendukung implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut. Tidak ada pilihan lain, semua pihak harus konsentarasi dan serius dalam mempersiapkan SDM, sarana dan prasarana untuk mendukung Sistem Peradilan Pidana Anak terutama Fasilitator, Hakim Peradilan Anak dan Pengadilan sebagai benteng terakhir dalam proses penyelesaian anak berhadapan hukum di Pengadilan.
Selamat menyelenggarakan Pembaharuan Hukum Pidana.
Semoga bermanfaat dan Tuhan Yang Maha Esa melindungi kita semua.
Dr. RIDWAN MANSYUR, SH., MH
Oleh:
NURNANINGSIH AMRIANI, SH.MH.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong
Disampaikan pada Pelatihan Fasilitasi Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Tema : Kita Wujudkan Demokrasi yang Bermartabat di Kabupaten Bener Meriah
Bener Meriah, tanggal 24 Mei 2016
A. PENDAHULUAN
Partai politik mempunyai peran yang penting dan strategis dalam Negara dengan sistem pemerintahan berbentuk demokrasi seperti di Indonesia. Karena perannya yang sangat penting itu sehingga muncul pendapat misalnya dari Anna Maria Gentili[1] bahwa “no democracy no party, no parties no democracy,” artinya tidak ada demokrasi tanpa partai politik, tanpa partai politik tidak akan ada demokrasi. Besarnya peran partai politik tersebut kemudian melahirkan persaingan yang keras diantara anggota dan pengurus partai politik, yang pada akhirnya akan berbuntut pada perselisihan, dimana perselisihan ada yang bisa diselesaikan secara internal, tapi tak sedikit juga yang berlarut-larut. Bahkan berakibat perpecahan di tubuh partai politik. Oleh karenanya perlu suatu aturan penyelesaian perselisihan yang efektif dan efisien agar jalannya roda pemerintahan tidak terganggu.
Secara kelembagaan, partai politik sesungguhnya merupakan badan hukum perdata yang didirikan oleh sekelompok orang yang memiliki cita-cita dan tujuan yang sama, tetapi secara fungsional berorientasi publik dan menjadi wadah perjuangan aspirasi politik dalam pemerintahan. Untuk itu, pelembagaan partai politik menjadi sangat penting dalam menciptakan stabilitas pemerintahan demokrasi.
Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah lahir berbagai undang-undang yang mengatur Partai Politik yaitu :
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya,
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya,
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik,
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Akan tetapi dari berbagai undang-undang diatas, hanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur tentang pola penyelesaian perselisihan partai politik dalam 2 Pasal dan 8 ayat, tepatnya pada Pasal 32 dan 33. Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No 2 Tahun 2011 disebutkan bahwa ”Penyelesaian perselisihan internal partai politik dilakukan oleh mahkamah partai politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh parpol.” Kemudian pada Pasal 33 ayat (1) UU No 2 Tahun 2011 disebutkan, bahwa ”Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri.” Selanjutnya Pengadilan Negeri perkara akan diperiksan dan diputus dalam jangka waktu 60 hari sejak gugatan didaftar, tanpa ada upaya banding dan hanya boleh kasasi ke Mahkamah Agung yang juga diputus dalam 30 hari sejak memori kasasi terdaftartar di Kepaniteraan Mahkamah Agung sesuai Pasal 33 ayat (2) dan (3).
Dari uraian kedua Pasal tersebut, terdapat institusi baru yaitu Mahkamah Partai yang harus diketahui perannya sebelum anggota partai politik mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri agar gugatan yang diajukan tidak sia-sia dan membuang banyak waktu, tenaga dan biaya yang akan diuraikan dalam pembahasan makalah ini.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian pendahuluan, maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut :
- Bagaimana eksistensi Mahkamah Partai dalam penyelesaian perselisihan partai politik ?
- Bagaimana peran Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong dalam penyelesaian perselisihan anggota partai politik di Kabupaten Bener Meriah?
C. PEMBAHASAN
- Eksistensi Mahkamah Partai (MP) dalam Penyelesaian Perselisihan Partai Politik.
Mahkamah Partai (MP) masih merupakan wadah yang relatif baru di dalam tubuh partai politik di Indonesia. Lembaga ini mungkin tidak begitu diketahui perannya oleh anggota partai politik dalam penyelesaian perselisihan di kalangan partai politik. Barulah ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Barat mementahkan gugat-menggugat antara kubu DPP Partai Golkar versi Musyawarah Nasional (Munas) Bali dan versi Munas Jakarta, peranannya kemudian diperhitungkan.
Hadirnya Mahkamah Partai dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 mengadopsi konsep “separation of powers” (pembagian kekuasaan) dalam rangka “check and balances” (kontrol dan keseimbangan) di antara fungsi-fungsi organ partai sebagai satu institusi internal partai yang bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugas memeriksa dan memutus perselisihan internal partai. Mahkamah Partai bertujuan mengurangi campur tangan pemerintah dan pengadilan dalam menyelesaikan perselisihan internal partai politik dan membuat partai politik lebih otonom atau mandiri sebagai marwah demokrasi, namun tidak pula menjadikan pengurusnya sewenang-wenang terhadap anggota tanpa dapat dicampuri oleh pihak luar, sehingga saluran aspirasi anggota dan akses keadilan tertutup. Mahkamah Partai sebagai wadah yang mencegah penyebab perpecahan dalam tubuh partai politik.
Kewenangan Mahkamah Partai bersifat atributif dan secara fungsional menjalankan fungsi quasi peradilan. Sifat atributif kewenangan Mahkamah Partai secara tidak langsung dan secara fungsional menempatkan Mahkamah Partai sebagai delegasi negara dalam partai politik yang pembentukan dan pengisiannya diserahkan kepada masing-masing partai. Oleh sebab itu putusan-putusan Mahkamah Partai merupakan produk hukum yang wajib dipatuhi oleh seluruh fungsionaris dan anggota secara internal dan secara eksternal wajib dihormati oleh semua pihak termasuk Negara. Konsep tersebut meneguhkan pandangan bahwa “democracy without law unthinkable” atau “tidak ada demokrasi tanpa hukum dan sebaliknya tidak ada hukum tanpa demokrasi.” Partai yang ideal sejatinya secara internal terdapat sistem hukum demokrasi yang secara prosedural berfungsi menegakkan aturan-aturan partai diantara anggota dan pengurus yang saling berselisih dengan membentuk Mahkamah Partai. Jadi kehadiran Mahkamah Partai ditempatkan sebagai salah satu sistem penegakan hukum internal partai politik dan delegasi negara atas fungsi publik yang dijalankan oleh partai.
Mahkamah Partai atau sebutan lainnya, secara normatif diatur dalam Pasal 32 ayat (2), (3) dan (5) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Kompetensi Mahkamah Partai tidak secara detil dan rinci diuraikan dalam undang-undang tersebut kecuali dalam Pasal 32 ayat (2) yang menyebutkan penyelesaian perselisihan internal partai politik, mengacu pada AD dan ART Partai yang dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai. Ketentuan tersebut cukup jelas bahwa kompetensi absolut Mahkamah Partai menyangkut perselisihan internal partai politik yang meliputi :
- Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan,
- Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik,
- Pemecatan tanpa alasan yang jelas,
- Penyalagunaan kewenangan,
- Pertanggungjawaban keuangan, dan
- Keberatan terhadap keputusan partai politik.
Pada ayat (5) menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.
Kata bersifat final dan mengikat secara internal berarti tidak dimungkinkan atau tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh oleh anggota maupun pengurus terhadap putusan Mahkamah Partai. Pasal 33 ayat (1) secara tidak langsung mengecualikan Pasal 32 ayat (5) sepanjang tercapai keputusan Mahkamah Partai.
Jika dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Makna penyelesaian perselisihan “tidak tercapai” dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu : Pertama, tidak ada Putusan Mahkamah Partai; dan kedua, terdapat Putusan Mahkamah Partai tetapi para pihak tidak tidak puas atau tidak menerima Putusan Mahkamah Partai. Jika kategori pertama yang terjadi, maka penyelesaian perselisihan kepengurusan partai termasuk dalam kompetensi pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011. Tidak adanya Putusan Mahkamah Partai dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain : Majelis Mahkamah Partai tidak ada, atau permohonan sengketa tidak diterima oleh Mahkamah Partai. Apabila telah ada putusan Mahkamah Partai mengenai perselisihan internal partai, maka tidak dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan negeri karena masalah tersebut merupakan perkara administrative sedangkan Pengadilan negeri tidak berwenang untuk itu, demikian juga Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang sebab keputusan partai politik bukan termasuk obyek tata usaha Negara.
Selanjutnya jika kategori kedua yang terjadi maka 2/3 dari peserta forum pengambilan keputusan tertinggi partai politik sebagai pihak yang memiliki legal standing menjadi hilang haknya untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan kepengurusan di pengadilan negeri, kecuali, untuk pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalagunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, dan keberatan terhadap keputusan partai politik. Hal tersebut berkenaan dengan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, yang mengatur legal standing yang termasuk sebagai pihak dalam penyelesaian perselisihan kepengurusan partai politik jika pergantian kepengurusan ditolak oleh paling rendah 2/3 (dua pertiga) dari forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik.
Perselisihan kepengurusan sangat mungkin terjadi di antara dalam kurun waktu satu periode kepengurusan, mulai sejak kepengurusan baru dibentuk hingga menjelang akhir kepengurusan. Dapat disimpulkan bahwa yang memenuhi kriteria untuk dapat dikategorikan sebagai perselisihan kepengurusan partai adalah ketika suatu kepengurusan ditolak oleh paling rendah 2/3 jumlah peserta forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik.
- Peran Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong dalam Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Di Kabupaten Bener Meriah.
Peran Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong dalam hal perselisihan partai politik di wilayah hukum Kabupaten Bener Meriah, mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menerangkan bahwa “dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.”
Kewenangan Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong menyelesaikan perselisihan internal partai politik di wilayah hukum Kabupaten Bener Meriah baru ada ketika dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan pada tingkat Mahkamah Partai tidak sampai pada putusan atau tidak ada putusan yang dihasilkan. Sedangkan kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara perselisihan internal yang meliputi: 1) pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, 2) pemecatan tanpa alasan yang jelas, 3) penyalagunaan kewenangan, 4) pertanggungjawaban keuangan, dan 5) keberatan terhadap keputusan partai politik, adalah hanya dimungkinkan jika para pihak sebelumnya telah menempuh upaya penyelesaian pada tingkat Mahkamah Partai namun tidak ada putusan dan dapat dibuktikan dengan pasti secara administratif jika para pihak telah menempuh upaya melalui Mahkamah Partai sebagaimana Pasal 33 ayat (1). Artinya jika telah ada putusan Mahkamah Partai maka bersifat final dan mengikat secara internal serta menutup upaya hukum, tidak saja kepada seluruh anggota dan pengurus partai tetapi juga pada pengadilan negeri. Pengadilan negeri tidak memiliki kompetensi untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan kepengurusan partai politik yang telah mendapatkan putusan Mahkamah Partai. Jika ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh Penggugat maka Hakim akan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (nicht Onvankelijke Verklaard).
Jika tidak ada putusan dari Mahkamah Partai sehingga perselisihan diajukan ke Pengadilan Negeri, maka Subjek hukum yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perselisihan internal partai politik adalah mereka dalam hal ini anggota partai politik yang merasa dirugikan kepentingan hukumnya akibat perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh pengurus partai berupa: 1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, 2) pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, 3) pemecatan tanpa alasan yang jelas, 4) penyalagunaan kewenangan, 5) pertanggungjawaban keuangan, dan 6) keberatan terhadap keputusan partai politik.
Sedangkan Untuk dapat ditarik dan diposisikan sebagai pihak tergugat, subjek hukum (naturlijk atau rechtperson) harus dapat dipastikan kedudukan hukum tergugat dengan segala perbuatan dan tindakannya yang menyebabkan kepentingan hukum penggugat terlanggar, yaitu kedudukan tergugat adalah sebagai fungsionaris partai yang memiliki kewenangan atas nama partai membuat keputusan dan tindakan lainnya dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang partai, kedudukan hukum tergugat tidak dapat digugat dalam kapasitas pribadi. Perbuatan dan tindakan dalam kapasitas jabatan yang menimbulkan akibat hukum berasal dari perbuatan dan tindakan yang memenuhi kapasitas hukum yakni kepengurusan yang sah menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh perbuatan dan tindakan dari pengurus yang tidak sah dipandang tidak pernah ada menurut hukum atau illegal. Sehingga kedudukan hukum tergugat baik berperkara di hadapan Mahkamah Partai maupun dihadapan pengadilan negeri adalah pengurus partai yang sah menurut hukum dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pihak yang berperkara dalam perselisihan kepengurusan menurut Pasal 25 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik adalah Pengurus yang terbentuk dari forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik berhadapan dengan paling rendah 2/3 peserta forum yang dimaksud. Forum tertinggi yang dimaksud adalah forum yang ditetapkan berdasarkan mekanisme organisasi menurut AD-ART untuk situasi organisasi yang berjalan normal dan instansi-instansi yang ditunjuk menurut cara-cara organisasi dalam menyelesaikan masalah dalam situasi tidak normal (darurat).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pendahuluan dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Seluruh jenis perselisihan internal partai meliputi : a) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, b) pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, c) pemecatan tanpa alasan yang jelas, d) penyalagunaan kewenangan, e) pertanggungjawaban keuangan, dan f) keberatan terhadap keputusan partai politik, wajib melalui Mahkamah Partai sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan putusannya bersifat final dan mengikat serta tidak memungkinkan adanya upaya hukum termasuk ke pengadilan negeri.
- Pengadilan Negeri Simpang Tiga Redelong tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan internal partai jika pertama, sebelumnya tidak pernah didaftarkan, diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Partai dalam masa waktu yang ditentukan oleh undang-undang, kedua perselisihan kepengurusan partai telah mendapatkan Putusan Mahkamah Partai. Kewenangan pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus sengketa partai politik menurut Pasal 33 jika penyelesaian pada tingkat Mahkamah Partai tidak tercapai (tidak ada putusan yang dihasilkan), namun telah ditempuh penyelesaian melalui Mahkamah Partai dan dibuktikan secara administratif. Jika ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh Penggugat maka Hakim akan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Nicht Onvankelijke verklaard). Peran Pengadilan Negeri baru ada ketika Mahkamah Partai tidak menghasilkan suatu putusan atas perselisihan yang terjadi ditubuh partai.
[1] Anna Maria Gentili, Party, Party Systems and Democratisation in Sub-Saharan Africa, Sixth Global Forum on Reinventing Government, Seoul, Republic of Korea 24-27 May 2005.
Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2015 yang mengatur tentang Struktur Organisasi di Mahkamah Agung yang ditindak lanjuti dengan surat sekretaris Mahkamah Agung No.527-1/SEK/KU/.01/12/15 yang ditujukan kepada ketua pengadilan tingkat banding di Indonesia, untuk segera melantik pejabat baru dibawah eselon 2, dan pada bulan desember 2015, masing-masing pengadilan telah melantik para pejabat baru, pada bulan ini adalah masa bahagia bagi rekan-rekan pejabat yang baru dilantik baik mutasi atau promosi jabatan, di satuan kerja eselon 1, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, selamat melaksanakan tugas dalam jabatan baru, semoga sukses memajukan Peradilan untuk menuju terselenggaranya Visi dan Misi Mahkamah Agung Republik Indonesia. (more…)
File Attachment : | Bukit_kesuksesan_Sebagai_renungan.pdf |
Setiap pemimpin semestinya adalah Agen Perubahan. Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan(business prosess) maupun sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik good governance
Reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta peradilan negara tertinggi mempunyai posisi dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena tidak hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan tetapi juga manajemen di bidang administratif, personil dan finansial, serta sarana dan prasarana. Kebijakan “satu atap” memberikan tanggungjawab dan tantangan karena MA, Pengadilan Tingkat Banding sampai Tingkat Pertama dituntut untuk menunjukkan kemampuannya mewujudkan organisasi lembaga yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan meningkatnya reformasi di peradilan, hal tersebut akan berdampak pada semakin besarnya tuntutan transparansi dan informasi publik. Adanya pembaruan yang berkelanjutan dapat meningkatkan citra peradilan di mata masyarakat, badan legislatif maupun eksekutif di Indonesia. Saat ini kita telah memasuki tahun ke empat Cetak Biru (Blue Print) ke Dua 2010-2035.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi dalam buku nya yang berjudul ”Reformasi Birokrasi Dalam Praktik” edisi Mei 2013, (pada Kata Pengantar) menyampaikan bahwa cara-cara baru menerapkan reformasi birokrasi tidak terlalu baru. Di sektor swasta banyak hal yang sudah di praktikkan : Pelayanan satu pintu, elektronisasi pelayanan, remunerasi berbasis kinerja dan lain sebagainya. Banyak penelitian dilakukan dan konfrensi/seminar digelar untuk mencari tahu cara terbaik menjadi birokrasi publik direformasi dari sebelumnya.
Pimpinan Pengadilan sebagai Agen Perubahan untuk Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi adalah reformasi pelayanan publik itu sendiri. Perlu diakui, bahwa upaya perbaikan pelayanan publik sudah dilakukan. Standarisasi pelayanan publik sudah diberlakukan untuk pelayanan dasar. UU Nomor 25 tahun 2009 dan SK KMA Nomor 26 tahun 2012 memapankan pengaturannya. Modernisasi pelayanan dengan instrumentasi teknologi informasi juga merupakan suatu keniscayaan; seperti info perkara dan direktori putusan pada Mahkamah Agung RI, serta lahirnya pengaturan dalam SK KMA Nomor 119/2013 tentang Penetapan hari musyawarah dan ucapan pada Mahkamah Agung RI yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI (Dr. H.M. Hatta Ali, SH.,MH) pada tanggal 19 Juli 2013, CTS (Case Tracking System)/SIPP, SIADPA dan SIADPA MILTUN pada pengadilan.
Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah-langkah kegiatan yang terus menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Sebagaimana dokumen Cetak Biru Perubahan Peradilan 2010-2035, arah kebijaksanaan Mahkamah Agung RI pada 25 tahun mendatang adalah ”Mewujudkan Badan Peradilan Yang Agung” yang sudah tentu hal ini akan menjadi arah dan tujuan bagi setiap pengembangan program dan kegiatan yang akan dilakukan di area-area fungsi teknis serta fungsi pendukung dan fungsi akuntabilitas.
Dalam Cetak Biru Perubahan Peradilan 2010-2035 juga di jelaskan ada 6 fungsi Pelaksanaan Fungsi Pendukung, yaitu : Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Sumber Daya Keuangan, Manajemen Sarana dan Prasarana, Manajemen Teknologi dan Informasi (TI), Transparansi Peradilan dan Fungsi Pengawasan. Dengan demikian supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi dari masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan merupakan faktor pendukung dari terlaksana dan tercapainya reformasi birokrasi.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia mensyaratkan suatu struktur penyelenggara reformasi birokrasi. Sebuah premis yang mempunyai konsekuensi logis menyatakan bahwa setiap pemimpin reformasi birokrasi perlu pengawasan ke dalam (in control) dalam reformasi birokrasinya dalam Buku yang berjudul ”Pemimpin dan Reformasi Birokrasi” edisi Februari 2013 terbitan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi. Tentu saja Pimpinan Lembaga lain dapat mengambil peran ini.
Seorang pemimpin di Pengadilan harus mampu memberikan pemahaman bahwa reformasi tidak akan mengenakkan bagi sebagian orang, dan cenderung akan menimbulkan resistensi, sehingga harus siap melakukan melakukan manajemen perubahan. Para pemimpin juga harus memiliki karakteristik yang harus ditanamkan dan diperjuangkan. Seorang pemimpin harus visioner dan berpikir melebihi kemampuan orang (thinking ahead), berpikir terus menerus (thinking again) dan berpikir lintas batas (out of the box/out of the book).
Ada empat hal yang penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin. Bila keempat ini dimiliki, pemimpin akan mendapat kekuatan dari dalam diri untuk menjadi agen perubahan. Juga akan mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan tugas yang diemban. Pertama, mampu menjadi penggerak sekaligus pendorong pemecahan masalah yang dihadapi. Kedua, senantiasa memberikan keteladanan bagi staf/bawahan. Ketiga, dengan sepenuh hati bekerja lebih keras dari pada staf/bawahan. Dan keempat, tentu saja pemimpin yang berorientasi pada perubahan yang senantiasa konsisten melakukan semua hal yang baik.
Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks.
Secara umum Standar Pelayanan di Pengadilan meliputi : Pelayanan Administrasi Persidangan, Pelayanan Bantuan Hukum, Pelayanan Pengaduan dan Pelayanan Permohonan Informasi. Secara khusus masing-masing pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan TUN dan Peradilan Militer) juga memiliki Standar Pelayanan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Pelayanan Publik berbasis teknologi informasi kini dijadikan sebuah solusi praktis. Pelayanan berbasis teknologi merupakan sebuah inovasi yang terus berkembang demi melayani kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan akan informasi. Tak terkecuali di pengadilan, hampir di seluruh pengadilan tengah bekerja keras untuk dapat membangun sistem informasi perkaranya berbasis teknologi. Pelayanan seperi ini ini juga telah diterapkan di Mahkamah Agung Singapura dengan sangat representatif sebagai peradilan modern dengan E-Document dan E-Litigation yang kesemuanya berbasis IT.
Layanan ini memberikan aspek layanan publik yang sangat ideal bagi manajemen perkara yang cepat, akurat dan mudah. Sebagaimana sistem informasi penelusuran dan manajemen perkara dan manajemen administrasi serta keuangan Mahkamah Agung dan Pengadilan, terbukti tidak kurang dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, capaian seperti penghargaan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK, penghargaan penyerapan anggaran terbaik untuk Mahkamah Agung RI, Penghargaan tertinggi untuk survey integritas sektor publik tahun 2013 dari KPK dan prinsip SK KMA Nomor 119/2013 tentang Penetapan hari musyawarah dan ucapan pada Mahkamah Agung RI.
Akhirnya, pemimpin Pengadilan yang berhasil adalah pemimpin yang menyadari bahwa kepemimpinan yang berkenan dengan manusia, dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Kerena perubahan adalah kata yang disadari atau tidak adalah kata yang tidak banyak disukai. Manajemen perubahan pada dasarnya sesulit perubahan itu sendiri.
Tentu saja kita bertanggung jawab memberikan pelayanan terbaik secara sederhana, mudah dan ramah kepada mereka untuk memperoleh akses keadilan ini dengan niat ibadah dan membantu sesama.
Semoga Bermanfaat.
Sumber : https://www.mahkamahagung.go.id